Empati adalah suatu sikap yang bisa merasakan perasaan orang lain sebagaimana dia merasakan perasaannya sendiri. Seseorang yang memiliki empati tinggi maka besar kemungkinan orang tersebut bertindak/berperilaku selalu memperhatikan apakah tindakannya merugikan orang lain atau membuat orang lain bersedih. Sebaliknya orang yang berempati rendah cenderung selalu bertidak seenaknya sendiri tanpa memperdulikan perasaan orang lain. Orang-orang seperti ini cenderung acuh tak acuh apakah tindakannya/perbuatannya telah melukai perasaan orang lain atau tidak. Segala tindakannya selalu diuukur atas dasar egoisme pribadi.
Lalu apa yang harus diajarkan dalam sebuah lembaga pendidikan? Apakah lembaga pendidikan turut andil menciptakan manusia-manusia berempati rendah atau manusia-manusia berempati tinggi. Keduanya bisa terjadi. Sebagai permisalaan, sebuah kondisi kelas yang ramai. Jika salah penanganan maka akan melahirkan manusia-manusia berempati rendah dan sebaliknya jika ditangani dengan tepat maka akan melahirkan manusia-manusia berempati tinggi. Mari kita kupas satu persatu.
Pertama jika ditangani dengan salah diantaranya, ketika kelas dalam kondisi ramai terjadi "pembiaran" maka kondisi demikian memicu tingkah laku anak-anak yang tidak peduli akan kondisi lingkungan sekitar apakah di dalam kelas telah dimulai pembelajaran atau ada tugas-tugas yang harus diselesaikan. Apakah proses pembiaran ini salah guru? Bisa jadi ya bisa jadi tidak. Jika posisi guru pada saat itu memiliki power dan skill cukup untuk mengkondisikan anak-anak namun sang guru enggan mendiamkannya karena berbagai alasan makan guru tersebut memiliki andil menciptakan karakter tersebut. Tetapi jika sang guru tidak memiliki power (meski skill memadai) karena power sang guru telah diambil entah oleh orang tua murid-murid yang diajar atau oleh sistem yang berlaku dalam sekolah atau bahkan sistem masyarakat yang salah dalam mehakimi tindakan seorang guru. Maka kondisi pembiaran ini bukan salah guru tersebut, yang turut andil dalam pembentukan itu adalah orang tua, sekolah, dan masyarakat itu sendiri. Jika kondisi ramai, guru memiliki power tetapi dalam pengendaliannya sang guru bertumpu pada kekuatannya tanpa memperdulikan perasaan anak entah dengan teriakan, hukuman yang tidak sepantasnya, atau ancaman-ancaman yang berlebihan dan tidak mendidik maka kondisi demikian juga memicu anak akan berperilaku acuh terhadap guru. Mereka hanya akan tertib jika sang guru tersebut mengajar karena takut akan kegarangannya. Tetapi tidak ada jaminan mereka tertib jika diajar oleh guru yang memiliki power lebih rendah dari dia. Yang banyak terjadi adalah anak-anak yang terbiasa dalam kondisi demikian akan brutal dalam kelas yang pengajarnya level kegarangannya lebih rendah, dengan kata lain empati rendah telah tercipta.
Kedua jika ditangani dengan tepat, ketika kelas dalam kondisi yang ramai sang guru mengendalikan dengan mengutamakan perasaan. Komunikasi dua arah antara guru dan murid yang bersumber dari hati ke hati. Mereka diajak berfikir dan merasakan perasaan mereka bagaimana perasaan mereka jika belajar dalam kondisi ramai. Bagaimanak perasaan mereka jika mereka sedang berbicara namun tidak dihiraukan. Bagaimana perasaan mereka ketika mereka sedang konsentrasi teman-teman di sekitarnya ramai dan cenderung mengganggu konsentrasi belajarnya. Dan lain sebagainya, percakapan yang mengarah penajaman perasaan mereka. Dalam penanganan seperti ini apakah tidak diperkenankan menggunakan suara yang lantang? keras? Dalam situasi tertentu tidak masalah, asal suara-suara keras tersebut diletakkan pada momen yang tepat, tidak digunakan berkelanjutan layaknya orang marah-marah. Suara keras disini hanya memberikan penekanan bahwa guru sedang serius dan meminta perhatian penuh oleh murid-muridnya. Sebagai misal dalam kondisi tertentu ketika guru berdialog, salah seorang murid terlihat meremehkan. Maka ketika itu guru berteriak "Jhony, dengar!!!". Ini memberikan isyarat, anak yang bernama jhony dan juga berlaku untuk yang lain apabila kalian ramai dan meremehkan saya saat berbicara makan saya akan memanggilmu dengan panggilan yang kasar jadi jika tidak ingin dipanggil dengan panggilan kasar tolong diam sesaat dan dengarkan. Dengan demikian ketika kelas dalam kondisi diajak berdialog dari hati-kehati maka semua murid akan memiliki kecenderungan untuk memperhatikan dan memahami perasaan orang lain entah guru atau sesama temannya.
Uraian di atas adalah sebagian kecil dari permasalahan yang bisa memicu pembiasaan anak memiliki empati rendah atau tinggi. Tentu ada kasus-kasus lain yang itu jika ditangani dengan cara yang salah dan terus menerus akan menghasilkan hasil didikan yang salah pula.
Untuk elemen pendukung orang tua, sekolah, dan masyarakat hendaknya jeli dan cermat dalam mengambil tindakan. Jika hal yang dilakukan guru dalam mendidik sisiwanya, entah sampai terjadi insiden pemukulan atau perilaku kasar hendaknya ditelisik mulai dari apa yang telah dilakukan sang murid? Apakah hal yang dilakukan (pelanggaran atau sejenisnya) dilakukan berulang-ulang? Dan selalu yakin apapun yang dilakukan guru (kecuali perilaku menyimpang) adalah untuk kebaikan murid-muridnya. Perlindungan yang salah terhadap mereka, bukan menjadikan mereka baik malah menyulitkan posisi guru lemah dan murid yang diajarpun menjadi tidak terkendali. Wal hasil, bisa dilihat dalam kondisi saat ini. Kekerasan pelajar merebak di mana-mana? Silahkan ditelisik kenapa hal ini bisa terjadi? Apakah salah guru? Murid? Orang tua? Sekolah? Ato masyarakat itu sendiri? Yang jelas setiap elemen memiliki andil dalam pembentukan ini.
Sebagai penutup, pendidikan empati perlu dilakukan sejak dini jika perlu sejak usia balita. Seorang anak yang memiliki empati tinggi akan memudahkan proses pendidikan. Setidaknya jika memang ada keterbatasan kemampuan sang anak, dia memudahkan teman-temannya dalam belajar. Jika dia memiliki teman yang baik dalam penerimaan materi, maka dia akan berpeluang mendapat penjelasan ulang dari teman tersebut hingga dia memahaminya. Sehingga terjadi simbiosis mutualisme. Kondisi anak berempati bisa terwujud hanya dengan partisipasi semua elemen pembentuk kepribadian anak.
0 comments:
Post a Comment